Ayub 42:5-6 “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau. Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu.”
Bagi saya, kisah Ayub menggambarkan keintiman seorang manusia dan Tuhan. Di mana di tengah tekanan yang besar, dengan terbukanya mengatakan apa saja kepada Tuhan seperti tanpa ada pembatas. Mulai dari mengeluh, mengasihi diri sendiri, berprasangka buruk, menuduh, sampai mengutuk Tuhan. Namun sisi lain, Tuhan setia ada di sana, tetap menyatakan kasih-Nya, dan sabar menantikannya percaya kepada-Nya.
(Baca juga: IBLIS INGIN KITA BERPIKIR BAHWA TUHAN MENAHAN BERKAT-NYA)
Ayub membuka opininya tentang Tuhan di Ayub 1:21, “Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan!” Lalu di tengah kesesakannya, Ayub mulai mengasihani diri (Ayub 7:19-21), “Bilakah Engkau mengalihkan pandangan-Mu dari padaku, dan membiarkan aku, sehingga aku sempat menelan ludahku? Kalau aku berbuat dosa, apakah yang telah kulakukan terhadap Engkau, ya Penjaga manusia? Mengapa Engkau menjadikan aku sasaran-Mu, sehingga aku menjadi beban bagi diriku? Dan mengapa Engkau tidak mengampuni pelanggaranku, dan tidak menghapuskan kesalahanku? Karena sekarang aku terbaring dalam debu, lalu Engkau akan mencari aku, tetapi aku tidak akan ada lagi.”
Apa alasan Ayub mengungkapkan semua keluh kesahnya? Dari mana Ayub memiliki opini seperti itu mengenai Tuhan? Ayub menjawabnya, “Dari kata orang …”
Sama seperti kita. Mungkin kita hanya mendengar tentang Tuhan dari apa kata orang lain, dari hamba Tuhan, dari radio, televisi, buku, atau lainnya. Tidak ada yang salah dengan hal itu, selama sesuai dengan yang tertulis di dalam Firman Tuhan. Namun jangan berhenti di situ. Ayub pun tidak berhenti dari mendengar kata orang, dia melanjutkan, “tetapi sekarang mataku sendiri memandang engkau.”
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa Ayub membangun hubungan pribadinya dengan Tuhan dan dengan cara itu Ayub mendapatkan opini tentang Tuhan yang jauh lebih baik. Ayub menyadari bahwa Tuhan tidak seperti yang pernah dia dengar dari orang lain dan tidak seperti yang pernah dia ucapkan. Itu sebabnya di ayat 6 Ayub mengatakan, “Aku mencabut perkataanku dan menyesal …”
(Baca juga: SEBERAPA NORMALKAH HIDUP ANDA?)
Mari kita belajar dari kisah Ayub di atas. Milikilah waktu pribadi bersama Tuhan, meluangkan waktu untuk merenungkan kebenaran-Nya, dan mendengar suara-Nya, agar kita mengenal-Nya secara pribadi, bukan sekadar dari kata orang. (penulis:@mistermuryadi)
Mengenal Yesus secara pribadi membuat kita menyadari kasih dan janji2NYA secara nyata dalam hidup kita. Orang lain bisa saja kecewa dengan Tuhan, tapi kita yang intim denganNYA akan terus kuat dan tidak kecewa. Terima kasih Koh Zal.